16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan

Konsep Paper 16 HKTP

Apa itu Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan?

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan adalah kampanye berskala internasional yang awalnya dimulai dari pertemuan perdana Women’s Global Leadership Institute pada tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership. Para peserta dari kegiatan ini memilih tanggal 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan tanggal 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, untuk secara simbolik menghubungkan kekerasan terhadap perempuan dan HAM, serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah suatu bentuk pelanggaran HAM. Dalam rentang waktu 16 hari ini juga terdapat beberapa tanggal penting lainnya, seperti tanggal 29 November yang adalah Hari Internasional Pembela HAM Perempuan, tanggal 1 Desember yang adalah Hari AIDS Sedunia, serta tanggal 6 Desember yang adalah Hari Peringatan Pembantaian Montreal. (Untuk informasi lebih lanjut, lihat Tanggal-Tanggal Penting yang ada di lampiran.) 

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan selama ini diperingati di sekeliling dunia oleh semua individu maupun kelompok yang menggunakan kerangka hak asasi manusia untuk menyerukan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Hal ini dilakukan dengan cara:

  • Meningkatkan kesadaran di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional.
  • Memperkuat usaha yang dilakukan di tingkat lokal
  • Menghubungkan usaha yang dilakukan di tingkat lokal dengan usaha yang dilakukan di tingkat global
  • Menyediakan forum untuk dialog dan saling berbagi strategi
  • Menekan pemerintah untuk menerapkan komitmen yang telah dibuat lewat instrumen hukum yang ada di tingkat nasional maupun internasional
  • Mendemonstrasikan solidaritas antar para aktifis di sekeliling dunia
Apa itu kekerasan terhadap perempuan?

“Kekerasan terhadap perempuan mungkin merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia yang paling memalukan dan juga paling umum terjadi. Kekerasan terhadap perempuan tidak mengenal batasan geografis, budaya atau tingkat kesejahteraan. Selama kekerasan terhadap perempuan terus berlanjut, kita tidak bisa berkata bahwa kita sudah mengalami kemajuan yang nyata dalam hal kesetaraan, pembangunan dan perdamaian.” 
*Kofi Annan, mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa

“A World Free of Violence Against Women (Dunia yang Bebas dari Kekerasan Terhadap Perempuan)” 
*Konferensi video Perserikatan Bangsa-Bangsa, 8 Maret 1999

Kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang sering terjadi. Kekerasan terhadap perempuan juga adalah suatu bentuk krisis kesehatan masyarakat, dan merupakan suatu penghalang terhadap kesetaraan, pembangunan, keamanan dan perdamaian. Istilah “kekerasan terhadap perempuan” dan “kekerasan berbasis gender” digunakan untuk mengacu pada serangkaian penganiayaan yang dilakukan terhadap perempuan, yang berakar dari ketidaksetaraan gender dan rendahnya status perempuan dibandingkan laki-laki. Pada tahun 1993, Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan mendefiniskan kekerasan terhadap perempuan sebagai “Setiap tindak kekerasan berbasis gender yang yang berakibat atau mungkin berakibat pada kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan-tindakan semacam itu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.” Definisi ini mencakup kekerasan yang terjadi di dalam keluarga, di dalam masyarakat umum, dan kekerasan yang dilakukan atau yang dilanggengkan oleh Negara. Bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender termasuk tapi tidak hanya terbatas pada: kekerasan di dalam rumah tangga, penganiayaan seksual, pemerkosaan, pelecehan seksual, perdagangan perempuan, pelacuran paksa, dan praktek-praktek yang membahayakan. Selain itu, identitas perempuan yang beragam dan saling bersilangan antara kelas sosial, ras, etnis, agama, keturunan, seksualitas dan status kewarganegaraan bisa menjadi faktor-faktor yang meningkatkan subordinasi dan kerentanan perempuan terhadap kekerasan. Diperkirakan ada satu dari tiga perempuan di seluruh dunia yang mengalami suatu bentuk kekerasan berbasis gender di dalam hidupnya.[1]

[1] Heise, L., M. Ellsberg dan M. Gottemoeller. 1999. Ending Violence Against Women (bahasa Indonesia: Menghakhiri Kekerasan Terhadap Perempuan). Population Reports, Series L, No. 11. Baltimore: Johns Hopkins University School of Public Health, Population Information Program.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FILOSOFI LAYANG-LAYANG dan BENANG

Aku dan IMM

Contoh Fotografi Abstrak Kreatif, Minimalis dan Penuh Warna | Teknik Fotografi Pemula